Hulondalo.id - Dalam RUU KUHP, ada 14 pasal krusial yang mendapat resistensi dari masyarakat. Terkait hal itu, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia, Harkristutu Harkrisnowo, menyampaikan penjelasannya.
Dalam Webinar Dialog Publik Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) yang digelar Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP). Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Selasa (20/9/2022), Guru besar yang biasa disapa Prof Tuti itu menuturkan isu pertama soal living law atau pidana adat dalam pasal 2 dan pasal 601 RUU KUHP.
“Living law itu sebagai penghormatan terhadap hukum adat selama tidak melanggar hak asasi manusia, Pancasila, dan asas hukum internasional,” katanya.
Menurutnya, living law ditetapkan berdasarkan kesepakatan dari pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Isu krusial kedua, kata Prof Tuti, yakni pidana mati yang diatur dalam pasal 67 dam 100 RUU KUHP. Menurutnya, Indonesia masih memerlukan pidana mati dalam RUU KUHP.
Prof Tuti menegaskan, pidana mati dalam RUU KUHP diatur sebagai pidana yang bersifat khusus, dan selalu dicantumkan alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun.
“Pidana mati juga dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun apabila memenuhi persyaratan,” katanya.
Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan perbuatan terpuji, pidana mati dapat diubah menjadi hukuman penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden.
Isu ketiga, kata Prof Tuti, yakni penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Ketentuan soal penyerangan atau menghina presiden dan wakil presiden ini, diatur dalam Pasal, 218, 219, 220. Pasal itu menyebut, setiap warga negara yang menghina presiden dapat dipidana 3,5 tahun. Pasal tersebut merupakan delik aduan.
"Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan; Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden".
Menurut Prof Tuti, pasal-pasal tersebut tidak bertujuan untuk membatasi demokrasi, dan kebebasan berpendapat.
Sedangkan isu keempat, kata Prof Tuti, terkait dengan santet atau tindak pidana menyatakan diri memiliki kekuatan gaib atau untuk mencelakakan orang lain yang diatur dalam pasal 252 RUU KUHP.
Di dalam Pasal 252 Ayat (1) disebutkan, setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp200 juta). Jika setiap orang melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (vide Ayat 2). Selanjutnya, disebutkan dalam penjelasan Pasal 252 RUU KUHP bahwa ketentuan itu dimaksudkan untuk mengatasi keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan itu dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh sebagai dukun teluh (santet). Prof Tuti mengatakan, pasal itu sebenarnya untuk melindungi religiusitas dalam sila pertama Pancasila.Sedangkan isu kelima yakni terkait unggas dan ternak yang rusak kebun.
Pada Pasal 278 yang mengatur, bahwa setiap orang yang membiarkan unggas atau ternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain. Menurut Prof Tuti, pasal itu bertujuan untuk melindungi kepentingan para petani.
Isu krusial keenam yakni contempt of court atau mengatur soal penghinaan terhadap proses peradilan yang diatur dalam pasal 280 RUU KUHP. Menurut Prof Tuti, aturan itu untuk menjaga ketertiban persaiangan serta melindungi wibawa pengadilan.