Penulis : Riyanto Ismail GENERASI Milenial sangat diperhitungkan pada tahun Politik sekarang ini. Mereka adalah bagian dari penentu kemajuan dan keberhasilan demokrasi, baik di tingkat daerah maupun nasional. Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), jumlah pemilih Milenial mencapai 70 juta–80 juta jiwa dari 193 juta pemilih. Artinya, sekitar 35–40 persen memiliki pengaruh besar terhadap hasil pemilu dan menentukan siapa pemimpin pada masa mendatang. Salah satu hal penting yang kerap terjadi pada pelaksanaan pemilu adalah soal perebutan kekuasaan yang bisa melahirkan persaudaraan atau bahkan bisa menimbulkan permusuhan. Keduanya mudah sekali terjadi. Dalam demokrasi, ada yang namanya kawan dan lawan Politik dan ini juga berlaku untuk para pendukung setiap calon. Sekalipun, dalam Politik tidak ada baik kawan maupun musuh abadi, semua hal tadi bisa terjadi, tergantung permainan waktu dan kepentingan. Banyak politisi yang semula lawan menjadi kawan Politik begitu juga sebaliknya. Dalam hal ini, partisipasi Politik generasi Milenial tentu sangat substansial karena dari persentase jumlah pemilih, generasi Milenial menyumbang suara cukup banyak dalam keberlangsungan Pemilu 2019. Generasi Milenial menjadi sasaran empuk bagi politisi-politisi yang ingin mengajukan diri sebagai anggota dewan karena kondisi idealis pemuda yang mudah sekali dipengaruhi tentang keberpihakan. Dengan peran generasi Milenial sebagai pemilih yang memiliki sumbangsih terhadap suara hasil pemilihan yang cukup besar, maka posisi generasi Milenial menjadi sangat strategis untuk menjadi objek sasaran pemungutan suara. Besarnya kuantitas generasi Milenial tidak membuat mereka sebagai mayoritas yang diam (silent majorities). Mereka bukan entitas yang pasif, melainkan aktif. Sebab, dunia maya, tempat mereka beraktivitas, tersedia informasi yang melimpah dan bisa diperoleh secara cuma-cuma. Hal itu tidak lepas dari sifat generasi Milenial yang memiliki kecenderungan ingin tahu lebih dalam, bahkan mengulik lebih jauh sisi kehidupan kandidat yang sifatnya pribadi sekalipun. Informasi yang diperoleh tentang kandidat bisa menjadi dasar politisnya dalam memberikan hak suara. Pemilih Milenial juga tau dari hasil2 survey yang dilakukan oleh beberapa lembaga, menunjukkan bahwa kesulitan yang dihadapi generasi Milenial saat ini ialah terbatasnya lapangan pekerjaan (25,5%), tingginya harga sembako (21,5%), tingginya angka kemiskinan (14,3%), dan beberapa persoalan lain di bawah 10%. Jika pemilih Milenial setia pada sikapnya, mereka akan mengkristalkannya menjadi pilihan rasional. Oleh sebab itu, dukungan elektoral pemilih Milenial menjadi salah satu hal penting untuk direbut, demi mengukir target kemenangan di Pemilu 2019. Fenomena Arab Spring yang terjadi di berbagai wilayah di Timur Tengah menjadi contoh betapa generasi Milenial mampu membulatkan suara untuk mengkritik bahkan menjungkalkan rezim. Itu adalah pelajaran bahwa sewaktu -waktu mereka bisa menjadi loyalis pasangan tertentu. Tetapi, tidak menutup kemungkinan mereka akan menjadi musuh. Jika isu identitas digunakan sebagai strategi kampanye oleh tim pemenangan para politisi2 khususnya Gorontalo, tidak mustahil isu tersebut justru menjadi bumerang yang dapat mengantarkan pada kekalahan. Tapi inti dari semuanya yaitu generasi Milenial diharapkan mampu membawa dinamika Politik yang sehat dan dinamis. Tahun 2019 merupakan momentum Politik yang membutuhkan peran generasi Milenial yang cakap media, tanggap, kreatif, dan advokatif. Langkah-langkah strategis generasi Milenial dalam mengisi pesta demokrasi dapat dilakukan dengan beragam cara, misalnya mendorong gerakan antigolput atau kampanye yang positif serta anti money Politik demi terjadinya pemilu berkualitas. (**)